JAKARTA, Kongkritsultra.com- Aksi kelima. Bukan yang pertama. Tapi justru makin panas. konsorsium Mahasiswa Peduli Hukum Sulawesi Tenggara kembali datang. Tidak ke kampus. Tapi ke jantung kepolisian republik ini: Mabes Polri.

Mereka tidak sedang liburan. mereka tidak membawa selebaran kosong. Tetapi mereka datang dengan suara yang mulai serak karena terlalu sering bicara hukum di negeri yang kadang tuli.

Mereka ingin satu hal: transparansi total, Mereka minta Mabes Polri buka-bukaan soal siapa yang diduga jadi beking tambang ilegal di Kolaka Utara. Sebut nama. Jangan abu-abu. Jangan pakai kamuflase.

Tomi Dermawan, sang orator, menuntut yang jelas. katanya, hukum tidak boleh tunduk pada alat berat. “Kenapa sejak 2023 dugaan  tambang ilegal bisa jalan terus? Siapa yang lindungi?” teriaknya Rabu (21/5/2025)

Satu perusahaan jadi sorotan: PT Kasmar Tiar Raya. Alat berat mereka katanya disegel. Tapi entah  bagaimana perjalananya  dan mana rimbanya. Hilang. Seperti etika para penegak hukum yang malas menindak tegas ujar Tomi

Mahasiswa ini bukan asal bicara. mereka bawa data. Bawa hasil investigasi. Katanya, tambang-tambang itu ngeruk hasil alam diduga  tanpa izin. Bahkan diduga di kawasan hutan lindung. Mereka eksploitasi, rakyat hanya bisa mengeluh sambil batuk oleh debu.

Lucunya lagi, masyarakat sudah sering lapor. Tapi laporan itu seperti dilempar ke sumur. Sunyi Tak ada yang diusut. Tak ada yang diperiksa.

Salah satu tuntutan mereka cukup nyali besar: Minta Kapolri copot seorang pejabat penting, eks Kapolres Kolaka Utara, yang kini duduk sebagai Wadir Lantas Polda Sultra. Tuduhannya berat: pembiaran Diam saat hukum diterobos.

Tapi mahasiswa tidak mundur. Kata mereka, hukum tidak bisa terus dipilih-pilih. Kalau tajam ke bawah, tumpul ke atas, maka kami akan terus berdiri.

Mabes Polri didesak bicara jujur. Karena jika institusi sebesar Polri tidak bisa menjelaskan soal dugaan tambang ilegal di Kolaka Utara, lalu siapa lagi yang rakyat percaya?

Dan kalau tuntutan ini tidak ditanggapi, Tomi bilang, “Kami akan datang lagi. Lebih ramai. Lebih lantang. Jakarta harus dengar suara dari timur.”

Kolaka Utara memang jauh. Tapi suara mahasiswa ini sedang mengetuk pintu pusat. Dan jika pintu itu tidak terbuka, Maka rakyat akan mencari jendela lain untuk bicara( Usman)