KONSEL, Kongkritsultra.com- Hari itu, halaman basecamp PT Tambang Indonesia Sejahtera (TIS) di Desa Bangun Jaya tak seperti biasanya. Bukan deru alat berat yang mendominasi, melainkan tumpukan karung beras putih berukuran lima kilogram. Sebanyak 500 karung disusun rapi, simbol sederhana dari sebuah janji perusahaan tambang: jangan biarkan desa ini merasa ditinggalkan.

Sebanyak 195 kepala keluarga dari Bangun Jaya datang bergiliran. Masing-masing pulang dengan dua karung di tangan. Sisanya, dibawa untuk masyarakat dari Lakarama dan Wangkolabu Pulau Towea, Muna, yang kebunnya bersinggungan dengan wilayah tambang. Total 2,5 ton beras berpindah tangan dalam satu siang, Selasa (23/9/2025).

Di panggung sederhana itu, berdiri La Ode Kais, Direktur Utama PT TIS. Ia tak perlu teks pidato panjang. Kata-katanya justru menekankan hal yang personal: “Perusahaan ini lahir dari masyarakat Bangun Jaya. Saya sendiri putra asli sini. Jadi kepentingan masyarakat harus jadi yang utama.”

Ucapan itu disambut anggukan. Warga tahu, Kais bukan sekadar pengusaha tambang yang datang dari jauh. Ia tumbuh di tanah yang sama, menghirup udara yang sama, dan kini mencoba membangun usaha di atasnya.

Di antara warga yang pulang dengan wajah lega, ada Wa Ode Novianti, ibu rumah tangga dari Dusun IV. Baginya, dua karung beras itu lebih dari sekadar bahan makanan. Itu artinya dapur bisa aman untuk beberapa minggu. “Sudah empat kali saya menerima bantuan seperti ini. Alhamdulillah, meskipun tak banyak, sangat meringankan,” ujarnya.

Senada dengan itu, Wa Salfina dari Dusun I mengaku bantuan ini selalu ditunggu. Bukan karena nilainya yang besar, melainkan konsistensinya. “Perusahaan ini bukan hanya janji. Sudah beberapa kali kami terima,” katanya.

Di hadapan camat Lainea dan perangkat desa yang ikut menyaksikan, manajemen PT TIS berulang kali menegaskan bahwa ini bukan seremoni sesaat. Sudah jadi agenda triwulan perusahaan, bahkan saat aktivitas tambang belum sepenuhnya berjalan.

Bagi Kais, ini baru permulaan. Jika roda operasi penuh sudah bergerak, ia ingin bantuan tak berhenti di beras. Infrastruktur, beasiswa, peningkatan SDM—semua masuk daftar. “Saya sudah komitmen, hak dan pendapatan perusahaan ini akan saya bagi dengan masyarakat,” tegasnya.

Itu bukan kalimat yang lahir dari ruang rapat ber-AC. Itu suara seorang anak kampung yang kembali dengan status berbeda, tapi ingin memastikan kampungnya ikut tumbuh.

Wa Ode Suliana, direktur lainnya, menambahkan nada yang sama. “Hari ini bukan hanya soal berbagi beras. Ini kesempatan kami bersilaturahmi dengan masyarakat. Perusahaan hanya akan kuat kalau ada doa dan dukungan dari orang-orang di sini.”

Dalam industri tambang, kisah semacam ini sering terjebak dalam angka: tonase batu yang diangkut, miliar rupiah yang diputar. Namun di Bangun Jaya, cerita itu ditarik kembali ke hal paling dasar: 10 kilogram beras per keluarga. Simbol kecil yang maknanya besar—bahwa perusahaan tak sekadar mengambil dari tanah, tapi juga berusaha mengembalikannya dalam bentuk yang paling dibutuhkan warga.

Ke depan, janji itu akan diuji. Desa ini sudah tahu rasanya menerima, dan akan peka bila janji tak ditepati. Tapi untuk saat ini, karung-karung beras yang dibawa pulang itu cukup membuat langkah mereka ringan, setidaknya hingga musim panen tiba atau hingga giliran bantuan berikutnya datang(Man)