KENDARI, Kongkritsultra.com-Medsos kembali jadi panggung panas. Kali ini, Kepala Dinas Komunikasi dan Digital (Komdigi) Sulawesi Tenggara, Dr. M. Ridwan Badallah, jadi sorotan.
Tuduhan bertebaran di TikTok dan media sosial, diduga dilemparkan oleh seorang oknum pengurus PMII berinisial AW.
Merasa nama baiknya tercoreng, Ridwan lewat kuasa hukumnya, Langkarisu SH MH, resmi melapor ke Krimsus Polda Sultra.
Langkarisu tak main-main. Jumat, 21 Maret 2025, laporan resmi sudah masuk.
“Kami tidak akan tinggal diam. Ini bukan soal opini lagi, tapi soal hukum,” ujarnya tegas. Tuduhan yang dilemparkan AW dianggapnya tak berdasar, bahkan mengarah pada pelanggaran UU ITE Pasal 28 ayat 2. “Kalau bicara pelanggaran, buktikan dengan data, bukan sekadar koar-koar di TikTok,” tambahnya.
AW disebut menuding Ridwan melakukan pelanggaran administrasi saat menjabat sebagai PJ Bupati Buton Selatan (Busel). Namun, Langkarisu membantah keras tudingan itu.
Menurutnya, jabatan PJ Bupati adalah jabatan politik, sementara Kepala Dinas Kominfo adalah jabatan karier. “Dua hal ini berbeda. Jangan dicampuradukkan,” katanya.
Tudingan yang dilempar AW dianggap sebagai bentuk penghasutan dan pencemaran nama baik.
“Ini bukan hanya merugikan klien kami secara pribadi, tapi juga menciptakan opini negatif di masyarakat,” jelas Langkarisu.
Ia bahkan menyebut aksi AW sebagai propaganda yang memprovokasi publik.
“Kalau ada pelanggaran, buktikan! Jangan cuma bicara di media sosial tanpa dasar. Kami siap hadapi ini di pengadilan,” tantangnya.
Langkarisu juga menyoroti dampak dari komentar-komentar liar di media sosial.
“Setelah unggahan itu viral, komentar negatif bermunculan. Publik seolah digiring untuk percaya bahwa Pak Ridwan melakukan pelanggaran berat,” ujarnya dengan nada geram.
Ia menegaskan bahwa pemberitaan seperti ini harus didukung bukti konkret.
“Kalau hanya bicara tanpa fakta, itu sama saja dengan menyebar fitnah. Ini sudah masuk ranah pidana: pencemaran nama baik, penghinaan, bahkan penghasutan.”
Ridwan sendiri merasa terganggu dengan situasi ini. Sebagai pejabat publik, ia paham bahwa dirinya tak kebal kritik. Namun, kritik tanpa dasar dan berbentuk fitnah adalah cerita lain.
“Kami ingin membersihkan nama baik klien kami. Kalau memang ada pelanggaran, biar hukum yang bicara,” ujar Langkarisu.
Laporan ini pun menjadi ujian bagi penegak hukum di Polda Sultra. Apakah ada unsur dendam pribadi di balik tuduhan ini?
Atau murni kepentingan lembaga? Semua akan terungkap dalam proses penyelidikan dan persidangan nanti.
“Publik berhak menilai sendiri,” tutup Langkarisu. Namun satu hal yang pasti: kasus ini menjadi pengingat bahwa bermain di ranah media sosial bukan tanpa risiko hukum.
TikTok bisa jadi panggung hiburan, tapi juga bisa berubah jadi medan pertempuran hukum yang tajam.
Sulawesi Tenggara kini menunggu babak berikutnya dari drama ini. Akankah AW mampu membuktikan tuduhannya? Atau justru sebaliknya, ia yang terjerat hukum karena ucapannya? Kita tunggu saja hasil akhirnya di meja hijau. *