KENDARI, Kongkritsultra.com- Suasana di Kantor Wilayah BPN Sulawesi Tenggara mendadak berubah tegang, Selasa siang. Tiga kelompok besar—Aliansi Masyarakat Bangun Jaya, Gerbang Kota Kendari, serta Lembaga Masyarakat Buruh Sultra—hadir membawa tuntutan keras soal dugaan penerbitan sertifikat Hak Milik di kawasan hutan APL Desa Bangun Jaya, Kabupaten Konawe Selatan.

Ratusan massa yang dipimpin Abdi Wira itu datang dengan satu pesan: ada sesuatu yang tidak beres dalam proses sertifikasi tanah yang kini mereka sebut sebagai praktik “rapi tapi berbahaya”. Abdi menegaskan, berbagai temuan yang dibawa aliansi mengarah pada dugaan keterlibatan pihak-pihak tertentu dalam memuluskan sertifikat di lahan yang menurut mereka sama sekali tidak pernah menjadi objek garapan warga.

“Ini bukan sekadar janggal. Semua dokumen dan kondisi lapangan menunjukkan pola yang sistematis. Terlalu rapi untuk disebut kebetulan,” kata Abdi dalam orasinya Kamis (11/12/2025)

Ia menyebut, tanah yang kini berubah status menjadi Hak Milik justru terletak di area yang selama ini tercatat sebagai kawasan hutan. Informasi itu diperkuat oleh penelusuran warga yang menegaskan bahwa lahan tersebut sejak dahulu tidak pernah disentuh kegiatan pengolahan, baik sebelum maupun sesudah pemekaran wilayah.

Sasaran tuntutan massa tidak berhenti pada BPN. Abdi secara terbuka juga menyebut oknum Kepala Desa Bangun Jaya, Masrin, yang menurut mereka memiliki peran dalam administrasi sertifikasi. Beberapa oknum BPN Konawe Selatan pun disinggung karena diduga kuat mengetahui alur penerbitan dokumen tersebut. Di antara temuan yang diangkat, paling menyita perhatian adalah munculnya nama-nama pemilik sertifikat yang diklaim tidak pernah mengajukan permohonan. Bahkan, ada yang disebut tidak berasal dari Desa Bangun Jaya.

“Yang paling ironis, sebagian masyarakat yang namanya tercantum sebagai pemilik justru tidak tahu apa-apa. Tidak tahu batas lahan, tidak tahu kapan diukur, bahkan tidak tahu pernah ada proses atas nama mereka,” ujar Abdi.

Selain itu, aliansi juga menilai tidak ada jejak kegiatan pengukuran yang seharusnya menjadi prosedur wajib sebelum penerbitan SHM. Warga mengaku tidak pernah melihat petugas BPN melakukan pemeriksaan fisik di lokasi. Pengumuman wajib sebagai bagian dari proses legalitas pun, menurut massa, tidak pernah dilakukan. Hal ini membuat mereka yakin bahwa administrasi berjalan tertutup tanpa sepengetahuan masyarakat terdampak.

Sejumlah massa membawa dokumen serta foto lapangan yang mereka klaim sebagai bukti bahwa lahan tersebut masih berupa hutan dan tidak pernah dikembangkan oleh warga setempat. Mereka menilai, rangkaian kejanggalan ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi berpotensi besar menimbulkan konflik tanah apabila tidak diselesaikan secara hukum.

Dalam penegasannya, aliansi memberikan ultimatum kepada BPN Sultra. Mereka meminta agar lembaga tersebut segera mencabut seluruh sertifikat yang dianggap cacat hukum. Abdi menyatakan, pihaknya memberi waktu 1×24 jam sebagai batas respons dari BPN.

“Kalau tidak ada langkah konkret, kami akan mengambil tindakan lanjutan. Kami tidak mau daerah ini menjadi contoh buruk akibat praktik mafia tanah yang dibiarkan,” tegasnya.

Aksi itu berakhir dengan pengawalan ketat aparat keamanan. Massa membubarkan diri sambil menegaskan bahwa mereka akan kembali dengan jumlah lebih besar apabila tuntutan mereka tidak dipenuhi. Hingga berita ini diturunkan, pihak BPN Sultra belum memberikan keterangan resmi terkait desakan tersebut( Man)