KENDARI, Kongkritsultra.com-Polemik kasus dugaan perusakan kawasan hutan konservasi Tanjung Betikolo, Kabupaten Konawe Selatan sulawesi Tenggara, kian bergulir panas. Keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Andoolo yang menangguhkan perkara pidana Kepala Desa Bangun Jaya, Musrin, menimbulkan gelombang kritik. Dua pandangan hukum kini berhadap-hadapan: pembelaan kuasa hukum sang kades dan kecaman tajam dari kalangan aktivis
Kuasa hukum Kepala Desa Bangun Jaya, Fatahillah, SH., MH., menilai penangguhan itu langkah yang sah dan beralasan hukum. Ia menjelaskan, keputusan majelis hakim mempertimbangkan adanya perkara perdata yang sedang berjalan antara Musrin dan Kementerian Kehutanan serta BPKH dengan nomor perkara 32/Pdt.G/2025/PN Andoolo, yang menyangkut status hukum lahan yang kini disengketakan.
Menurutnya, penghentian sementara perkara pidana telah diatur dalam sejumlah peraturan dan didukung oleh yurisprudensi. “Objek perkara ini belum jelas status hukumnya, masih status quo. Bila pidana tetap berjalan sementara perkara perdata belum inkrah, itu bisa melanggar asas keadilan,” kata Fatahillah.
Ia menegaskan, keputusan hakim justru mencerminkan prinsip kehati-hatian. “Kalau nanti dalam perkara perdata ternyata klien kami menang, berarti ia dihukum atas tanahnya sendiri. Itu tidak adil,” ujarnya.
Namun, pandangan tersebut mendapat bantahan keras dari Direktur Eksekutif Lembaga Masyarakat Buruh (LMB) Sulawesi Tenggara, Drs. Sugianto Fara. Menurutnya, keputusan menangguhkan perkara pidana lingkungan adalah langkah prematur dan bertentangan dengan asas hukum yang berlaku jelas Selasa (4/11/2025)
“Objek pidananya bukan sertifikat tanah, tapi dugaan perusakan hutan konservasi. Jadi tidak bisa dicampuradukkan dengan perkara perdata,” tegas Sugianto. Ia menilai, dalih menunggu perkara perdata tidak relevan karena perusakan hutan adalah tindak pidana lingkungan yang berdiri sendiri.
Sugianto mengingatkan adanya putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956 yang menegaskan perkara pidana khusus seperti korupsi, perambahan, dan perusakan hutan tidak dapat ditangguhkan. “Ini soal kelestarian negara. Kalau dibiarkan, artinya hukum sedang berkompromi dengan perusakan,” ujarnya lantang.
Ia juga menuding proses persidangan belum transparan. “Sampai sekarang, belum ada saksi ahli yang dihadirkan, belum ada pemeriksaan mendalam. Dulu ada warga dihukum empat tahun hanya karena menebang satu batang kayu. Sekarang kepala desa diduga merusak satu hektare lahan malah ditangguhkan—di mana rasa keadilannya?” katanya geram.
Aktivis LMB itu juga mengancam akan melakukan aksi protes dalam waktu dekat. “Maka dari satu dua hari ke depan, kami akan pressure lewat demonstrasi di Pengadilan Tinggi Sultra. Ini bukan soal siapa, tapi soal keadilan publik,” ujarnya.
Ia mendesak Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara meninjau ulang putusan PN Andoolo Nomor 79/Pid.Sus.LH/2025/PN.Ad. karena dinilai cacat logika hukum dan berpotensi mencederai rasa keadilan masyarakat. “Hukum harus ditegakkan tanpa pandang jabatan, tanpa kompromi,” pungkasnya.
Sampai berita ini diturunkan, Kepala Pengadilan Negeri Andoolo belum memberikan tanggapan resmi. Redaksi masih berupaya melakukan konfirmasi lebih lanjut mengingat perkara ini menyangkut kepentingan publik dan isu penting tentang kelestarian lingkungan hidup( Man)

