KENDARI, Kongkritsultra.com- Polemik lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) Koperasi Perikanan/Perempangan Soananto (Kopperson) kembali mencuat setelah Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP) Sultra menuding langkah Pengadilan Negeri Kendari sebagai bentuk pengkhianatan terhadap rasa keadilan sosial masyarakat. Namun tudingan itu dinilai menyimpang dari asas hukum dan justru berbahaya karena bisa menyesatkan opini publik.

Kuasa Khusus Kopperson, Fianus Arung, menegaskan perkara ini bukan lagi hal baru. Sengketa lahan tersebut telah diputus melalui Perkara Perdata Nomor 48/Pdt.G/1993/PN Kdi yang kini berkekuatan hukum tetap (inkracht). Menurutnya, semua upaya hukum telah ditempuh, sehingga tidak ada lagi ruang untuk menafsirkan ulang. “Kalau negara melalui pengadilan sudah memutus dan putusan itu inkracht, maka itu bukan sekadar putusan hakim, melainkan perintah negara. Menolak atau menggiring opini untuk tidak melaksanakan putusan sama saja dengan menolak kedaulatan hukum,” tegas Fianus, Senin (29/9/2025).

Ia menambahkan, dalih JPKP yang menyebut putusan ini “daluarsa” adalah keliru. Dalam sistem hukum Indonesia, eksekusi putusan tidak pernah mengenal batas waktu. Pasal 200 ayat (11) HIR dengan tegas menyatakan tidak ada daluarsa eksekusi, bahkan Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 3199 K/Pdt/1984 menegaskan bahwa putusan inkracht tetap dapat dieksekusi meski sudah puluhan tahun berlalu. “Jadi, argumen daluarsa itu bukan saja lemah, tapi menyesatkan,” ucapnya.

JPKP juga menuding HGU Kopperson otomatis berakhir sejak 1999, sehingga tanah kembali menjadi tanah negara. Pandangan itu, kata Fianus, terlalu menyederhanakan persoalan. Status HGU tidak bisa hilang sepihak, melainkan hanya dapat dicabut melalui keputusan resmi Menteri ATR/BPN. Apalagi status tanah tersebut sudah diputuskan melalui pengadilan, yang memenangkan Kopperson. Dengan demikian, penerbitan sertifikat hak milik di atas tanah yang masih bersengketa adalah cacat hukum dan sewajarnya dibatalkan.

Lebih jauh, Fianus mengingatkan JPKP agar tidak bermain-main dengan logika hukum demi alasan sosial. “Kalau kita menolak putusan inkracht hanya dengan alasan sosial, maka itu sama saja kita sedang membangun dua negara dalam satu wilayah hukum. Padahal negara kita hanya satu, fondasinya hukum. Jangan cederai itu dengan opini yang tidak berdasar,” katanya.

Menurutnya, tidak ada yang menolak perlindungan bagi masyarakat yang sudah lama bermukim di atas lahan tersebut. Tetapi perlindungan itu harus ditempatkan dalam koridor hukum, bukan dengan cara mengabaikan putusan pengadilan. Jika ada sertifikat yang terbit di atas tanah yang secara hukum masih menjadi hak pihak lain, maka sertifikat itu batal demi hukum. “Solusi keadilan sosial tetap terbuka, tapi jangan pernah menentang hukum. Negara wajib hadir, tapi kehadirannya harus berdasarkan aturan, bukan narasi,” tegasnya.

Fianus juga mengingatkan, prinsip res judicata pro veritate habetur atau asas finalitas putusan—bahwa putusan inkracht harus dianggap benar—adalah prinsip universal. Hal itu sejalan dengan asas pacta sunt servanda dalam hukum internasional yang menegaskan bahwa keputusan sah wajib dipatuhi. Karena itu, eksekusi putusan inkracht bukan hanya kewajiban nasional, tetapi juga sejalan dengan prinsip global tentang kepastian hukum( Man)