KONAWE UTARA, Kongkritsultra.com- Imran Kemal tahu betul jalan sunyi seorang kepala desa. Ketika ia baru menjabat pada 2020, yang pertama ia lakukan bukan duduk di kursi empuk balai desa, melainkan naik pesawat ke Jakarta. Bukan untuk berfoto dengan pejabat, melainkan membawa keresahan 183 kepala keluarga yang sehari-hari berhadapan dengan debu tambang dan jalan hauling. Ia datang dengan satu misi: memastikan warganya tidak sekadar jadi penonton dari industri besar yang berdiri di tanah mereka.

Keputusan itu kini berbuah nyata. Empat tahun setelahnya, setiap bulan, 183 KK di Desa Marombo Pantai bisa memastikan ada 20 kilogram beras di rumah mereka. Total 3,5 ton beras yang disalurkan secara rutin, dengan tanda tangan penerima dan laporan transparan ke perusahaan. Tak berhenti di situ, tiga perusahaan tambang—PT Kon Utara Sejati, PT KNN, dan PT Mitra Utama Resources—masing-masing menyetor Rp50 juta per bulan sebagai kompensasi debu dan lauk-pauk.

“Sejak awal saya pilih langsung membangun kemitraan. Saya tak mau warga saya sekadar jadi korban polusi. Alhamdulillah, program ini berjalan dan diterima tanpa ada yang merasa dirugikan,” kata Imran, Kamis (25/9/2025).

Angka-angka itu mungkin tampak dingin di atas kertas. Tapi di Marombo Pantai, ia berarti dapur yang selalu mengepul, biaya sekolah anak yang lebih terjamin, dan ketenangan bagi para pemilik lahan sertifikat yang jalannya dipakai perusahaan. Mereka menerima tambahan Rp1 juta per bulan per sertifikat, sebuah nilai kecil bagi korporasi, tapi besar untuk warga desa pesisir.

Imran sadar, isu tambang selalu panas. Debu, kerusakan lingkungan, ketimpangan. Tapi ia memilih strategi berbeda: merangkul, bukan melawan. Ia menuntut hak warganya dengan cara formal, membangun kesepahaman, lalu mengikatnya dengan sistem pencatatan rapi. Setiap rupiah, setiap karung beras, ada buktinya. Transparansi ini jadi bentengnya ketika isu miring datang.

“Kalau ada yang meragukan, silakan naik ke desa. Lihat sendiri,” tegasnya.

Tak semua kepala desa berani mengambil langkah semacam ini. Imran tahu risiko: dianggap terlalu dekat dengan perusahaan, dituding cari keuntungan pribadi. Tapi bagi Imran, selama warganya bisa makan, punya kerja, dan merasa terlindungi, ia tak perlu banyak menjawab. Warga sendiri yang jadi saksi.

Mayoritas penduduk Marombo Pantai kini bekerja di tambang, dari sopir truk hingga tenaga teknis. “Skill maupun non-skill, warga kami diprioritaskan. Jadi bukan hanya soal kompensasi, tapi lapangan kerja nyata,” tambahnya.

Empat tahun kepemimpinannya adalah cerita tentang negosiasi kecil yang berdampak besar. Bukan proyek mercusuar, bukan janji-janji pembangunan yang samar. Tapi beras di meja makan, uang kompensasi yang cair tepat waktu, dan rasa percaya bahwa desa mereka tidak ditinggalkan.

Di Konawe Utara, nama Imran Kemal mungkin belum sering muncul di panggung politik besar. Tapi bagi 183 KK di Marombo Pantai, ia adalah alasan mereka bisa menatap hari esok dengan lebih ringan, meski debu tambang masih mengepul di udara( Usman)