KENDARI, Kongkritsultra.com- Awan eksekusi di atas lahan Tapak Kuda kian pekat. Dalam hitungan hari, aparat pengadilan dipastikan turun melaksanakan perintah hukum yang sudah lama inkracht. Namun di sisi lain, muncul lagi suara penolakan dari RS Aliah, yang masih bersikeras mempertahankan bangunan di atas tanah berstatus Hak Guna Usaha (HGU) milik Koperasi Perikanan Soananto (Koperson).
Sikap itu sontak memancing respons tegas dari pihak Koperson. Melalui kuasa hukumnya, Fianus Arung, mereka meminta semua pihak, termasuk RS Aliah, untuk berhenti bersilat lidah dan tunduk pada putusan pengadilan.
“Putusan sudah jelas, berkekuatan hukum tetap. Tidak ada alasan lagi untuk menolak atau memperdebatkan. Hukum bicara, bukan retorika,” tegas Fianus dalam rilisnya Sabtu (4/10/2025).
Tiga Perlawanan, Tiga Kali Kalah
Fianus menegaskan, bukan sekali dua kali perlawanan terhadap Koperson muncul — namun semua kandas di meja hijau. Ia memaparkan tiga perkara penting yang menjadi bukti bahwa pengadilan sudah menolak seluruh klaim atas lahan Tapak Kuda.
1. Perlawanan pertama, diajukan Drs. La Ata, diputus dalam perkara Nomor 16/Pdt.Plw/2017/PN.KDI, ditolak dan dihukum membayar biaya perkara.
2. Perlawanan kedua, dari H. Amiruddin dkk. (termasuk area RS Aliah), perkara Nomor 13/Pdt.Plw/2017/PN.KDI, juga ditolak.
3. Perlawanan ketiga, dari Husein Awad/Hotel Zahra, perkara Nomor 16/Pdt.Plw/2017/PN.KDI, nasibnya sama: ditolak dan kalah total.
Dari seluruh amar putusan itu, pengadilan menegaskan kalimat kunci:
“Sertifikat yang terbit di atas lokasi tersebut tidak berkekuatan hukum.”
Artinya, seluruh Sertifikat Hak Milik (SHM) yang berdiri di atas tanah HGU Koperson dinyatakan cacat hukum dan tidak sah.
Pasien Bukan Alasan Menghalangi Hukum
Menjelang pelaksanaan eksekusi, RS Aliah disebut masih aktif melayani pasien. Fianus pun mengingatkan agar hal itu tidak dijadikan dalih untuk menolak pelaksanaan perintah pengadilan.
“Pelayanan pasien itu mulia, tapi jangan dijadikan tameng. Kami imbau RS Aliah agar tidak menerima pasien baru menjelang eksekusi. Negara harus hadir tanpa kompromi,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan, tindakan menghalangi aparat dalam melaksanakan perintah eksekusi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum serius, sebagaimana diatur dalam Pasal 221 dan 216 KUHP, yang mengancam pelaku dengan pidana karena menghalangi perintah pejabat yang berwenang.
Putusan Final, Tidak Bisa Ditawar
Berdasarkan Pasal 195 HIR dan Pasal 54 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, putusan pengadilan yang telah inkracht wajib dilaksanakan tanpa penundaan.
“Segala pernyataan di luar itu sudah tidak relevan. Semua sudah selesai di pengadilan. Jika masih ada yang melawan, itu bukan lagi perdebatan hukum, tapi perlawanan terhadap negara,” tegas Fianus.
Eksekusi Adalah Ujian Supremasi Hukum
Eksekusi Tapak Kuda bukan sekadar sengketa lahan, tetapi juga ujian bagi tegaknya supremasi hukum di daerah. Negara, kata Fianus, tidak boleh kalah oleh narasi, profesi, atau kepentingan individu.
“Kalau hukum masih bisa ditunda hanya karena seseorang mengaku punya pasien, maka hukum kehilangan wibawanya. Kami percaya pengadilan dan aparat akan berdiri di garis hukum,” ujarnya menutup( Man)

