JAKARTA, Kongkritsultra.com- Gerakan Relawan Keadilan Sulawesi Tenggara kembali menggebrak panggung hukum nasional dengan menuding adanya permainan oknum pejabat pengadilan dan pertanahan yang membuat eksekusi lahan Koperasi Perikanan dan Perempangan Saonanto (Kopperson) tak kunjung terlaksana, meski putusan perkara telah inkrah sejak hampir tiga dekade lalu.

Dalam pernyataan keras yang diterima redaksi, Akbar Rasyid selaku juru bicara gerakan tersebut menyebut penetapan non-eksekutabel yang diterbitkan Pengadilan Negeri Kendari sebagai tindakan cacat hukum, tidak sah, dan bertentangan dengan prinsip kepastian hukum tegasnya Rabu (3/12/2025)

Menurutnya, tidak ada alasan sedikit pun bagi negara untuk tunduk pada manuver oknum tertentu yang disebutnya berupaya menghalangi pelaksanaan putusan inkrah.

Akbar menegaskan bahwa argumentasi pengadilan—yang menyatakan lokasi lahan tidak jelas serta menyebut HGU terkait telah mati—adalah alasan mengada-ada yang tidak berdiri di atas fakta hukum. Ia menyebut bukti administratif Kopperson justru sangat lengkap dan sah secara negara.

Akbar merinci bahwa Kopperson memiliki surat ukur resmi BPN, sertifikat asli negara, serta seluruh upaya hukum pihak lawan telah ditolak sejak 1995. Bahkan tiga verzet yang diajukan pihak ketiga pada 2017 dan 2018 sudah dimentahkan dan berkekuatan hukum tetap.

Ia menilai tidak ada satu pun celah hukum yang dapat dijadikan dasar untuk menunda eksekusi. Akbar menyebut dalih “lokasi tidak jelas” hanyalah upaya yang patut dicurigai sebagai bentuk penghambatan sistematis terhadap pelaksanaan perintah negara.

Akbar juga menyoroti situasi saat proses konstatering di lapangan. Ia menyebut pihak penyerobot melakukan intimidasi dan penghalangan, sementara aparat keamanan gagal memberikan perlindungan memadai sehingga proses pengukuran terhenti.

Ia menegaskan negara tidak boleh kalah oleh pihak yang diduga menyerobot lahan. Aparat, katanya, memiliki kewajiban mutlak mengamankan jalannya putusan inkrah, bukan membiarkan prosesnya diganggu oleh tekanan pihak tertentu.

Gerakan Relawan Keadilan kemudian mengumumkan tuntutan resmi kepada Mahkamah Agung dan Badan Pengawasan MA agar mengevaluasi dan memeriksa pejabat pengadilan yang menerbitkan penetapan non-eksekutabel. Mereka juga mendesak MA mengeluarkan fatwa pembatalan penetapan tersebut dan memerintahkan PN Kendari melaksanakan eksekusi tanpa penundaan.

Desakan serupa ditujukan kepada Kementerian ATR/BPN untuk melakukan audit menyeluruh terhadap administrasi pertanahan di Sultra, termasuk menindak oknum pejabat yang diduga menerbitkan dokumen tumpang tindih hingga memicu sengketa berkepanjangan.

Gerakan ini juga menuntut pencopotan pejabat yang dianggap menghambat eksekusi, mulai dari Ketua PN Kendari, Ketua PT Sultra, hingga pejabat ATR/BPN di tingkat provinsi dan kota. Mereka turut menyoroti Kapolda Sultra yang dinilai gagal memberikan pengamanan maksimal saat konstatering.

Akbar menegaskan bahwa persoalan ini bukan sekadar urusan sengketa lahan, tetapi menyangkut martabat hukum negara. Ia menilai pembiaran terhadap putusan inkrah yang tak dieksekusi sama dengan merobohkan wibawa sistem peradilan.

Gerakan Relawan Keadilan memastikan akan melanjutkan aksi di Mahkamah Agung, ATR/BPN, dan lembaga terkait hingga eksekusi benar-benar dilaksanakan. Mereka menegaskan tidak akan mundur dan akan terus menagih keadilan yang menurut mereka sudah terlalu lama ditunda.

Kami tidak akan berhenti. Keadilan tidak boleh ditunda, apalagi diperdagangkan,” tegas Akbar(Usman)