KENDARI, Kongkritsultra.com- Ratusan massa dari Cipayung Plus Kota Kendari kembali turun ke jalan, Senin (15/9/2025), mendesak Ketua DPRD Sulawesi Tenggara menepati janji yang disampaikan pada aksi 1 September lalu. Namun, di balik gelombang aspirasi tersebut, muncul tudingan bahwa gerakan mahasiswa ini ditunggangi kepentingan politik.
Menanggapi hal itu, Ketua DPC GMNI Kendari, Rasmin Jaya, dengan tegas membantah. Menurutnya, tudingan tersebut tidak berdasar dan hanya upaya melemahkan konsolidasi mahasiswa. “Gerakan ini lahir dari komitmen internal Cipayung Plus Kendari. Kami konsolidasi, kami susun kajian, dan kami turun semata-mata untuk mengawal aspirasi rakyat. Tidak ada titipan, tidak ada tunggangan politik,” ujarnya, Selasa (16/9/2025).
Rasmin menambahkan, pihaknya telah berulang kali berusaha membangun dialog terbuka dengan Ketua DPRD Sultra untuk menyerahkan formulasi tuntutan yang disusun berbasis kajian kritis. Namun, yang terjadi justru penghindaran dan minim komitmen dari pihak legislatif.
Senada, Jordy, Ketua LMND Kendari, menyebut aksi 15 September bukan sekadar unjuk rasa rutin, melainkan bentuk akumulasi kekecewaan. “Kami duduki kantor DPRD, masuk ruang rapat paripurna, dan menggelar paripurna tandingan. Itu simbol perlawanan kami terhadap lembaga yang membiarkan janji rakyat tercecer,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua GMKI Kendari, Fito, menekankan perlunya transparansi dan keterbukaan. “Padahal janji pertemuan itu lahir dari Ketua DPRD sendiri. Kami hanya ingin ada tindak lanjut yang jelas agar aspirasi bisa diteruskan ke DPR RI. Jalan terbaik tetap dialog, tapi faktanya pintu dialog selalu tertutup,” katanya.
Di sisi lain, kritik datang dari Sekjen Visioner Indonesia, Akril Abdillah, yang menilai aksi mahasiswa rawan ditunggangi kepentingan politik. “Mendesak Ketua DPRD mundur tanpa mekanisme kelembagaan itu tidak tepat. DPRD lembaga politik, setiap keputusan ada prosedur. Desakan jalanan justru berpotensi merusak stabilitas,” katanya dalam rilis resmi, Senin (25/9/2025).
Pernyataan Akril itulah yang kemudian menuai reaksi keras dari Cipayung Plus Kendari. Mereka menilai opini tersebut adalah bentuk penggiringan publik untuk melemahkan gerakan mahasiswa. “Kami menolak dengan tegas. Narasi itu hanyalah titipan untuk menstigma perjuangan kami. Bagi kami, ini pertaruhan sikap organisasi demi rakyat, bukan panggung politik,” tegas Rasmin.
Aksi Cipayung Plus Kendari pun menjadi potret tajam betapa jarak antara mahasiswa dan lembaga legislatif kian melebar. Di satu sisi mereka menolak stigma politisasi, di sisi lain, tudingan politis terus menguntit setiap langkah. Yang pasti, api ketidakpercayaan sudah terlanjur menyala di depan DPRD Sultra, dan sulit dipadamkan hanya dengan retorika janji( Man)

