KENDARI, Kongkritsultra.com-Aliansi Pemuda dan Pelajar Sulawesi Tenggara (AP2 Sultra) menyesalkan masih adanya dugaan praktik pungutan liar (pungli) diwilayah sekolah. Ditengah kian beratnya beban ekonomi masyarakat, indikasi adanya pungutan liar (pungli) berkedok pengadaan seragam yang diduga dilakukan oleh oknum guru dan pihak sekolah di berbagai jenjang pendidikan.

Dugaan praktik jual beli seragam sekolah itu kembali menyeruak dan menjadi sorotan tajam publik Sulawesi Tenggara.

Dalam keterangannya kepada awak media Ketua Umum Aliansi Pemuda dan Pelajar Sulawesi Tenggara (AP2 Sultra), Ferdin Nage, mengatakan oknum guru tersebut berani menerapkan nama, NIP, stempel dan tanda tangan dalam rincian belanja siswa.

“Ini tindakan yang bisa dipertayakan dan kita akan giring dalam rapat dengar pendapat di DPRD Provinsi Sultra dan kita buka ke publik. Sebab tarif seragam yang dipasang salah satu oknum guru ini tidak sesuai dengan tarif harga di pasar sangat beda jauh. Tarifnya terlalu tinggi, contohnya baju RB dibanderol dengan tarif impor sama halnya oknum guru yang dilakulan hari ini memperdagangkan baju sekolah,” bebernya

Dewan Pembina  AP2 sultra La Ode Hasanuddin Kansi melalui whatsapnya ia membenarkan ada dugaan Pungli ujarnya  Pada Minggu 20/7/2025)

Ketua Umum Aliansi Pemuda dan Pelajar Sulawesi Tenggara (AP2 Sultra), Ferdin Nage menyebut anak-anak bangsa khususnya di Sultra harus diselamatkan dari praktik pungli.

“Hari ini kita kejar proses hukumnya dan kita akan tekan pihak aparat penegak hukum, karena itu tugasnya agar pelakunya dijerat hukum, dan ini kita pertanyakan dimana pendidikan gratis hari ini dari pemerintah, mulai dari dana bos dan biaya pakaian,” tegas Ferdin.

Selain itu, Aliansi Pemuda dan Pelajar Sulawesi Tenggara (AP2 Sultra) akan mendesak Gubernur Sultra dan Wali Kota Kendari untuk segera turun tangan dan menindak tegas para pelaku praktik yang ia sebut sebagai “bisnis haram yang telah meracuni dunia pendidikan.”

“Fenomena ini bukan hal baru. Setiap tahun ajaran baru, hampir bisa dipastikan ada praktik serupa. Oknum guru dan pihak sekolah menjadikan seragam sebagai ladang keuntungan pribadi, dengan mewajibkan siswa membeli di tempat yang mereka tunjuk,” ujar Ferdin.

Ia menyebut praktik tersebut sudah berlangsung bertahun-tahun dan dilakukan secara sistematis, tanpa ada penindakan yang jelas dari pihak berwenang.

Ferdin menilai, kewajiban membeli seragam di tempat tertentu bukan hanya mencederai prinsip keadilan dalam pendidikan, tetapi juga menambah beban ekonomi orang tua siswa terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu bahkan ini tidak ada badan hukumnya.

“Tidak sedikit orang tua terpaksa berutang demi memenuhi paket seragam yang nilainya bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan rupiah. Ini pemaksaan ekonomi yang sangat tidak manusiawi, apalagi jika harganya jauh di atas pasar tanpa transparansi,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia menyebut praktik ini sebagai bentuk gratifikasi terselubung yang telah lama dibiarkan hidup dalam sistem pendidikan.

Aliansi Pemuda dan Pelajar Sulawesi Tenggara (AP2 Sultra) juga meminta langkah konkret dari Gubernur dan Wali Kota, mulai dari pembentukan tim independen untuk mengaudit pola kerja sama sekolah dengan penyedia seragam, hingga keterlibatan aparat penegak hukum untuk menyelidiki dugaan gratifikasi dan korupsi.

“Jangan lagi ada pembiaran. Kami siap memberikan data dan bukti awal. Jangan sampai Dinas Pendidikan justru menjadi tameng bagi para pelaku,” tegas Ferdin.

“Kita ingin pendidikan bersih dari aroma bisnis. Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum harus menunjukkan keberpihakan mereka kepada rakyat, bukan kepada kepentingan segelintir orang,” pungkasnya.

Kini, masyarakat menanti nyali dan komitmen pemerintah untuk memutus mata rantai praktik jual beli seragam yang dianggap telah mencoreng wajah pendidikan di Bumi Anoa( Usman)