KENDARI, Kongkritsultra.com- Pernyataan dua pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) terkait status lahan Tapak Kuda milik Koperasi Kopperson kembali memicu polemik. Kepala BPN Kota Kendari, Fajar, dan Kabid Penetapan Hak Kanwil BPN Sultra, Ruslan Emba, disebut telah mengeluarkan pernyataan publik yang berubah-ubah, tidak konsisten, dan berpotensi menyesatkan opini masyarakat.
Kuasa khusus Koperasi Kopperson, Fianus Arung, menegaskan bahwa kedua pejabat itu harus berhati-hati dalam memberikan pernyataan di ruang publik. Sebagai penyelenggara negara, kata dia, Fajar dan Ruslan terikat sumpah jabatan dan tidak seharusnya melontarkan ucapan yang dapat memicu kebingungan publik.
“Fajar dan Ruslan itu pejabat negara, bukan pengamat. Mereka terikat aturan, sumpah, dan tanggung jawab moral. Jangan bicara sembarangan karena bisa jadi senjata makan tuan,” tegas Fianus di Kendari, Sabtu (11/10/2025).
Fianus menjelaskan bahwa tudingan terhadap Kopperson yang disebut tidak mampu menunjukkan batas tanah Tapak Kuda adalah keliru. Ia menegaskan, pihaknya justru menghormati BPN sebagai lembaga resmi yang memiliki produk hukum berupa surat ukur, peta, dan data koordinat sah. “Kami bukan tidak tahu batas, tapi kami menghargai prosedur resmi. Semua data hukum itu ada, lengkap, dan diakui pengadilan,” ujarnya.
Ia menyinggung peristiwa tahun 2018 saat Pengadilan Negeri Kendari memanggil BPN untuk hadir dalam penunjukan batas lahan, namun pejabat BPN tidak hadir tanpa alasan yang jelas. “Surat resmi dari pengadilan ditujukan kepada Kepala BPN Kota Kendari, tapi tidak diindahkan. Ini bukan sekadar kelalaian administratif, ini bentuk perlawanan terhadap perintah negara,” ujarnya dengan nada tinggi.
Menurutnya, ketidakhadiran tersebut tidak bisa dianggap enteng. Perintah pengadilan adalah perintah negara, dan penolakan atau pengabaian terhadapnya berpotensi melanggar hukum. “Kalau pengadilan sudah memerintahkan, lalu pejabat negara tidak hadir, itu sudah melawan hukum. Bisa dikategorikan pidana,” tegasnya.
Fianus juga menyoroti pernyataan Fajar yang menyebut “peta asli bertanda tangan pejabat berwenang bukan produk BPN” sebagai blunder fatal. Ia menilai, pernyataan itu menunjukkan ketidakpahaman terhadap produk hukum institusinya sendiri. “Lucu dan memalukan. Surat ukur itu jelas produk resmi BPN, ditandatangani pejabat berwenang, dan bahkan diakui oleh Ruslan sendiri pada pertemuan beberapa tahun lalu. Kalau sekarang disangkal, berarti mereka sedang menembak kaki sendiri,” sindirnya.
Ia menambahkan, pernyataan inkonsisten dan saling bertentangan dari pejabat BPN justru memperlihatkan adanya kepentingan tersembunyi di balik polemik Tapak Kuda. “Beberapa minggu lalu di Aula Kanwil ATR/BPN, Ruslan sendiri bilang peta tanah Tapak Kuda itu sudah pernah didudukkan dan mudah ditemukan. Sekarang dia bilang lokasinya tidak jelas? Aneh dan berbahaya. Jangan main api, nanti terbakar,” ujarnya.
Fianus mengungkapkan, Ruslan bahkan pernah mengakui dirinya menandatangani sertifikat di atas lahan milik Kopperson dan menyebut “kena jebakan Batman” dari pihak pemohon sertifikat. “Kalau sudah sampai mengaku begitu lalu kini menyangkal, ini bukan hanya kontradiksi tapi indikasi manipulasi fakta,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa pejabat negara tidak kebal hukum. Tindakan atau ucapan yang menyesatkan publik, menghambat pelaksanaan putusan pengadilan, atau menyalahgunakan jabatan bisa dijerat pasal pidana. Ia mengutip sejumlah ketentuan hukum, seperti Pasal 10 dan 24 UU No. 5/2014 tentang ASN yang menekankan profesionalitas dan netralitas aparatur negara, serta Pasal 216 dan 421 KUHP yang mengatur sanksi bagi pejabat yang menolak atau menghambat perintah sah negara. “Kalau pejabat negara sengaja menolak menjalankan perintah hukum atau menyampaikan keterangan palsu, itu perbuatan melawan hukum. Tidak ada yang kebal,” tandasnya.
Sebagai penutup, Fianus menegaskan bahwa pihaknya tetap tunduk pada hukum, namun tidak akan tinggal diam ketika keadilan diinjak. “Kami tunduk pada hukum, tapi tidak akan diam ketika hukum dimainkan. Kalau BPN takut pada tekanan massa pelawan Tapak Kuda, kenapa tidak takut pada kami yang berdiri di sisi hukum?” katanya.
Ia menutup pernyataannya dengan peringatan keras kepada pejabat BPN. “Tahun 2018 tidak akan terulang. Kali ini kami pastikan BPN hadir. Kecuali mereka sudah tidak bernyawa lagi,” pungkasnya.
Polemik Tapak Kuda kini menjadi ujian bagi integritas lembaga pertanahan di Sultra. Ketidakhadiran pejabat BPN pada eksekusi 2018 dan pernyataan yang saling bertentangan memperkuat dugaan adanya tarik-menarik kepentingan. Dalam situasi ini, transparansi dan keberanian menegakkan hukum menjadi ukuran sejati dari aparatur negara yang berintegritas(Man)

