KENDARI, Kongkritsultra.com- Pernyataan Dr. Soekirman, pemilik Rumah Sakit Aliah, yang awalnya dimaksudkan untuk membela hak atas lahan, justru menjelma menjadi pengakuan yang menelanjangi dirinya sendiri. Ia dengan tegas menyebut sertifikat hak miliknya (SHM) terbit pada tahun 1986 — sementara Hak Guna Usaha (HGU) atas nama Koperson/Abdi Nusa Kaya ternyata sudah lebih dulu sah sejak 1981.
Hal ini dikatan Fianus Arung Dari sisi hukum agraria, pernyataan ini bukan sekadar kekeliruan, melainkan pengakuan fatal yang mengonfirmasi bahwa SHM tersebut terbit di atas tanah yang secara hukum masih berstatus HGU aktif. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, masa berlaku HGU adalah 30 tahun dan dapat diperpanjang hingga 25 tahun, bahkan diperbaharui lagi selama 30 tahun berikutnya ujarnya Rabu (8/10/2025)
Dengan logika hukum sederhana, pada saat SHM RS Aliah muncul di tahun 1986, HGU Koperson masih sangat sah. Maka, bagaimana mungkin sertifikat hak milik dapat diterbitkan di atas tanah yang belum lepas dari status HGU?
Inilah yang disebut anomali hukum agraria — indikasi kuat adanya permainan administratif dalam proses penerbitan sertifikat. Sesuatu yang kerap menjadi jejak klasik dari praktik mafia tanah di Indonesia.
Fakta ini sekaligus menohok narasi bahwa HGU sudah berakhir dan lahan otomatis kembali ke negara. Sebab, hukum tidak bekerja dengan tafsir seenaknya. Dalam ketentuan agraria, tanah berstatus sengketa tidak bisa diperpanjang atau dialihkan hingga perkara selesai. Dan ketika pengadilan telah mengeluarkan penetapan sita eksekusi, maka status tanah itu kembali sah atas nama pemegang HGU, yakni Koperson.
Koperson sendiri masih berbadan hukum aktif, tidak pernah dibubarkan atau dinyatakan tidak sah. Dengan begitu, hak keperdataannya atas tanah tersebut tetap melekat penuh. Ia memiliki dasar hukum kuat untuk memperpanjang atau mengubah status HGU menjadi SHM sesuai mekanisme yang diatur negara.
Yang sesungguhnya bermasalah adalah mereka yang membeli lahan setelah HGU diterbitkan pada tahun 1981 — tanpa menelusuri sejarah dan status hukumnya. Mereka membeli di atas lahan yang bukan milik bebas, lalu menanam sertifikat hak milik di atas tanah orang lain. Secara yuridis, tindakan itu berpotensi melanggar Pasal 385 KUHP tentang penguasaan tanah secara melawan hukum.
Kini, posisi hukum semakin terang. Koperson berada di jalur yang sesuai peraturan, sementara para pengklaim justru tengah berdiri di atas dokumen cacat hukum. Negara pun telah bicara melalui penetapan sita eksekusi yang memberi kepastian hukum bagi pemilik sah.
Pertarungan ini tak lagi soal siapa yang paling vokal, tapi siapa yang berdiri di atas kebenaran hukum. Karena dalam perkara tanah, fakta tak bisa ditutup dengan narasi, dan sertifikat tak bisa menipu sejarah.
Dan publik kini mulai paham: bukan yang paling lantang yang benar, tapi yang punya dokumen yang tak bisa dibantah — dan dalam hal ini, hukum berpihak pada Koperson(Man)

