KENDARI, Kongkritsultra.com- Hari ini, Senin, 21 Juli 2025, Lembaga Aliansi Pemuda dan Pelajar Sulawesi Tenggara (AP2 Sultra) menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Kejaksaan Tinggi Sultra, Kota Kendari. Aksi ini bukan sekadar seremoni penyambutan, tetapi sebuah bentuk tekanan publik yang dikemas dalam dialektika jalanan: menyambut kedatangan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sultra yang baru dengan agenda penegakan hukum yang konkret dan berani.
Puluhan massa dari Lembaga AP2 sultra memenuhi halaman kantor kejaksaan sejak pukul 09.00 WITA. Mereka membawa spanduk, membacakan pernyataan sikap, serta menyampaikan orasi yang mengulas secara substantif berbagai persoalan krusial yang mencengkeram Sultra, mulai dari korupsi struktural, dugaan tambang ilegal, dugaan pungli di pendidikan, hingga praktik mafia obat di rumah sakit daerah. Semua itu menjadi daftar kerja rumah yang harus dijawab oleh figur baru di puncak institusi Adhyaksa Sulawesi Tenggara.
Dalam orasinya, Ketua AP2 Sultra, Ferdin Nange, menegaskan bahwa “kehadiran sosok Kajati yang dikenal sebagai Algojo Jampidsus harus dijadikan energi hukum baru di wilayah ini. Kami tidak butuh seremoni. Kami menuntut operasi bersih.” Seruan itu kemudian disambut pekik solidaritas peserta aksi yang menamakan diri sebagai generasi antikorupsi
Aksi berlangsung damai namun penuh tekanan simbolik. Mereka membawa poster bertuliskan “Bongkar dugaan Tambang Ilegal”, “Tindak Mafia Seragam Sekolah”, “Kesehatan Bukan Ladang Bisnis”, dan “Kejaksaan Jangan Jadi dugaan Makelar Kasus!”. Sementara sebagian lainnya mengenakan toga dan seragam sekolah sebagai simbol kegelisahan dunia pendidikan yang dijadikan dugaan lahan pungutan liar tiap tahun ajaran baru.
AP2 Sultra menekankan bahwa momen penggantian pimpinan Kejati bukan sekadar rotasi administratif, melainkan peluang transformatif yang harus dijawab dengan kerja nyata. Dalam pernyataannya, mereka kembali menuntut agar Kajati yang baru segera membentuk tim investigasi lintas sektor untuk menyapu bersih indikasi korupsi di bidang pendidikan, kesehatan, pertambangan, dan birokrasi publik.
Tak hanya itu, aksi ini juga menyerukan pentingnya reformasi internal Kejaksaan, mulai dari Kejari hingga Cabjari, yang selama ini dinilai tidak responsif terhadap laporan masyarakat. Beberapa Kajari bahkan disebut diduga terlalu dekat dengan penguasa lokal, hingga mengabaikan fungsi kontrol dan penindakan hukum yang mestinya menjadi roh lembaga Adhyaksa.
Demonstrasi ini berlangsung selama hampir empat jam dengan pengawalan aparat kepolisian yang menjaga situasi tetap kondusif. Perwakilan massa kemudian diterima oleh staf Kejati untuk menyerahkan dokumen resmi berisi lima butir desakan reformasi penegakan hukum yang sebelumnya telah disampaikan dalam pernyataan tertulis.
Melalui aksi ini, AP2 Sultra mengirim sinyal kuat bahwa masyarakat sipil tidak akan pasif menonton jalannya hukum. Mereka menegaskan bahwa Kajati bukan hanya simbol negara, tetapi juga cermin keberpihakan terhadap suara rakyat yang selama ini dipinggirkan oleh praktik koruptif dan kolutif.
Jika benar sang “algojo” telah tiba di tanah Anoa, maka inilah waktunya bukan untuk pidato, tapi untuk bertindak. Rakyat telah bicara—di jalan, di kampus, dan di ruang publik. Kini, bola ada di tangan kejaksaan. Apakah akan jadi pelindung keadilan, atau hanya reinkarnasi birokrasi lama yang kehilangan daya dobraknya( Usman)