KENDARI, Kongkritsultra.com- Kebebasan pers kembali mendapat ujian. Seorang wartawan media online Telisik.id, Hamlin, dicegat oleh seorang pegawai saat hendak meliput kegiatan hearing antara mahasiswa pendemo dan pihak Kanwil Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Sulawesi Tenggara, Kamis (22/5). Insiden ini terjadi di halaman kantor Kanwil Ditjenpas Sultra, ketika wartawan tersebut berniat menjalankan tugas jurnalistiknya.
Aksi pencegatan dilakukan oleh seorang pegawai Ditjenpas yang diketahui mengenakan papan nama bertuliskan Rio. Saat itu, mahasiswa yang sebelumnya berorasi dipanggil oleh Kabag Tata Usaha dan Umum, Nasihul Hakim, untuk melakukan hearing di dalam kantor. Hamlin pun berinisiatif mengikuti jalannya diskusi guna mendokumentasikan dan melaporkan agenda tersebut kepada publik.
Namun niat itu kandas. Gerbang kantor ditutup kembali dan wartawan dilarang masuk.
“Mau ke mana? Tidak bisa masuk, penyampaiannya tadi hanya lima orang mahasiswa yang bisa masuk,” ujar Rio sambil menghadang.
Hamlin pun menunjukkan surat tugas sebagai jurnalis, berharap bisa diberikan akses. Namun pegawai tersebut tetap bersikeras dengan alasan belum ada arahan dari atasan.
“Belum ada penyampaian dari atasan untuk diliput,” tegas Rio.
Merasa dihalangi tanpa alasan yang jelas, Hamlin menyayangkan sikap aparat yang dianggap tidak memahami peran dan fungsi pers.
“Kami ini hanya menjalankan tugas profesi, mencari dan mengumpulkan informasi untuk disampaikan ke masyarakat. Kenapa malah dicegah seolah-olah kami ini ancaman?” ungkapnya.
Tak tinggal diam, Hamlin mencoba mengonfirmasi Kepala Kanwil Ditjenpas Sultra, Sulardi, lewat pesan WhatsApp. Namun, hingga berita ini ditulis, meski pesan sudah dibaca, belum ada tanggapan.
Tindakan penghadangan ini mendapat sorotan tajam dari organisasi pers. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sultra, Sada, menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk penghalangan terhadap kerja-kerja jurnalistik dan kebebasan pers.
“Itu jelas-jelas bentuk intimidasi terhadap jurnalis. Tindakan itu mengancam kemerdekaan pers dan menimbulkan rasa takut bagi jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Pegawai tersebut harus diberikan sanksi,” tegasnya.
Senada, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sultra, Sarjono, juga menyesalkan insiden tersebut.
“Semua pihak harus saling menghormati profesi masing-masing, termasuk terhadap insan pers. Praktek-praktek menghalangi kerja jurnalistik seperti ini harus dilawan,” ujarnya.
Sarjono pun menyerukan kepada jurnalis untuk tetap teguh dan optimistis dalam menjalankan profesinya, meski menghadapi tantangan.
Peristiwa ini menjadi alarm serius terkait masih minimnya pemahaman terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 4 ayat (2), yang menyatakan bahwa pers nasional berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi.
Bahkan dalam Pasal 18 ayat (1) UU yang sama, diatur ancaman pidana bagi siapa pun yang dengan sengaja menghambat kerja jurnalistik.
“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.”
Insiden ini tidak hanya menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers, tetapi juga memperburuk iklim demokrasi di Bumi Anoa, Sulawesi Tenggara. Publik pun kini menanti langkah tegas dari Kanwil Ditjenpas Sultra untuk menegakkan aturan, bukan justru menjadi pihak yang melanggarnya( Usman)