KONAWE, Kongkritsultra.com- Sebuah peristiwa memilukan kembali mencoreng wajah lembaga pemasyarakatan di Indonesia.
Dugaan penganiayaan brutal terhadap dua tahanan titipan Polres Konawe di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas IIB Unaaha, Kabupaten Konawe, memantik gelombang kecaman luas dari berbagai kalangan.
Peristiwa yang terjadi Kamis, 16 Mei 2025 di Pos 2 Rutan Unaaha ini, melibatkan dua tahanan, S alias SP dan iparnya MA alias Y, yang diduga menjadi korban kekerasan fisik oleh oknum petugas rutan.
Kondisi keduanya tidak hanya memperlihatkan luka-luka serius di tubuh, tetapi juga trauma psikologis mendalam.
Praktisi hukum sekaligus Presidium Aliansi Pemuda Sultra, Yongki Ardiansyah, SH., menegaskan bahwa kasus ini merupakan bukti nyata pelanggaran hak asasi manusia yang tidak bisa dibiarkan.
“Ini bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan tindakan kriminal yang harus diusut tuntas dan pelakunya diproses secara hukum,” tegas Yongki, Rabu, 21 Mei 2025
Menurut Yongki, tindakan kekerasan ini melanggar ketentuan hukum pidana, termasuk Pasal 351 KUHP lama dan Pasal 466 UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru, yang memberikan ancaman hukuman penjara hingga 5 tahun apabila mengakibatkan luka berat.
Lebih jauh, Yongki mengkritik sistem pemasyarakatan yang tampak gagal menjalankan fungsi reformasi dan pembinaan terhadap warga binaan.
“Rutan seharusnya menjadi tempat pembinaan, bukan tempat penyiksaan. Kasus ini mengungkap kegagalan mendasar dalam pengawasan dan manajemen lembaga,” ujarnya.
Sorotan juga tertuju pada Kepala Rutan Kelas IIB Unaaha, Hery Kusbandono, yang dinilai tidak mampu menjalankan tugas pengawasan dengan baik.
Aliansi Pemuda Sultra menilai sikap Karutan yang sibuk memberikan klarifikasi justru memperlihatkan ketidakmampuannya menangani masalah internal.
“Kepemimpinan yang lemah berkontribusi pada munculnya praktik kekerasan. Jika pimpinan tidak mampu menjamin rasa aman dan perlindungan hak asasi warga binaan, maka harus ada penggantian segera,” tegas Yongki.
Lebih jauh, Yongki juga menduga keterlibatan Kepala Kesatuan Pengamanan Rutan (KPR) yang dinilai lalai mengawasi anggota bawahannya, khususnya petugas berinisial H yang diduga sebagai pelaku utama penganiayaan.
Kasus ini juga memperlihatkan pelanggaran kode etik pegawai pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam PP No. 58 Tahun 1999 dan Permenkumham No. 16 Tahun 2011.
Dalam regulasi tersebut ditegaskan bahwa petugas wajib menghormati harkat dan martabat warga binaan serta menjauhkan diri dari kekerasan dan pelecehan.
“Ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pelanggaran moral dan etika profesi yang sangat serius,” ungkap Yongki.
Pelanggaran kode etik ini, menurut Yongki, harus berujung pada sanksi tegas, mulai dari sanksi moral, administratif, hingga pencopotan jabatan, sesuai dengan Pasal 25 Permenkumham No. 16/2011.
Aliansi Pemuda Sultra mendesak Polres Konawe untuk mengusut tuntas kasus penganiayaan ini dan segera menangkap para pelaku.
“Keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Penegakan hukum yang tegas akan memperbaiki citra sistem pemasyarakatan yang tengah terpuruk,” kata Yongki.
Yongki mengingatkan bahwa narapidana adalah warga negara yang sedang menjalani proses hukum, bukan musuh negara yang layak disiksa. “Jika rutan menjadi tempat penyiksaan, maka seluruh misi pemasyarakatan gagal,” pungkasnya.
Selain itu, tuntutan pencopotan Kepala Rutan dan reformasi struktural dalam sistem pemasyarakatan juga menjadi sorotan utama. Aliansi Pemuda Sultra menekankan perlunya pembenahan menyeluruh agar kasus serupa tidak terulang kembali.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Rutan Kelas IIB Unaaha Konawe belum memberikan konfirmasi resmi terkait dugaan penganiayaan tersebut( Usman)